Sisi Positif Kegiatan Alam Bebas yang selama ini banyak di ragukan oleh beberapa kalangan. Bahkan sering kita mendengar sebuah untaian kalimat: Untuk apa naik gunung jika nanti turun juga? Bagi orang awam, mendaki gunung, mengarungi arus deras, menyelusup dalam gelapnya goa, memanjat tebing memang dipandang sebagai suatu kegiatan yang sia – sia.
Pada mulanya mereka memang mendapat kepuasan setelah menjawab tantangan dan menikmati panorama indah yang disodorkan alam bebas. Tetapi dari pengalaman naik turun gunung itu, pelan – pelan mereka mendapat sesuatu yang lebih. Bukan lagi sekedar kepuasan mencapai puncak ketinggian. Sifat – sifat positif secara perlahan akan terbentuk, sifat – sifat yang memang diperlukan pada saat – saat bertualang maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Sifat – sifat tersebut misalnya, berani mengambil keputusan. Di dalam situasi yang kritis, kita dituntut untuk secepat mungkin mengambil keputusan dengan bijak dan kepala dingin. Dan yang pasti keputusan tersebut tidak akan membahayakan keseluruhan tim, apalagi pada saat tersebut kita bertindak sebagai ketua rombongan.
Perselisihan bukanlah barang asing dalam dunia petualangan. Yang muncul akibat kondisi mental dan phisik yang sudah letih, sehingga kita mudah sekali tersinggung. Tapi karena kondisi alam bebas yang menuntut kerjasama, para petualang tidak bisa mengumbar emosinya begitu saja. Sedikit demi sedikit emosi pun dapat dikendalikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan perselisihan terlupakan.
Dengan naik gunung pun kita berlatih memotivasi diri. Karena di gunung yang menjadi penghalang utama adalah si pendaki itu sendiri. Capek – lah, dingin – lah, masih jauh – lah hingga mereka tidak mau melanjutkan perjalanannya. Kalau saja mereka bisa mengalahkan perasaan itu dalam kehidupan sehari – hari, ini bisa sangat berguna pada saat kita menghadapi masalah pelik.
Begitu juga dengan sifat cermat membuat perhitungan dan tidak mudah mengeluh. Kondisi alam bebas yang sulit diduga menuntut persiapan dan perhitungan yang matang, kalaupun ada yang meleset harus kita hadapi dengan pikiran dingin dan lapang dada tanpa saling menyalahkan. Di tengah hutan kita akan mengeluh kepada siapa, toh yang kita keluhi pun dalam kondisi yang sama, malah – malah keluhan kita bisa mengendorkan mentalitas rekan lainnya.
Dalam melakukan aktivitas ini kita dituntut untuk selalu jujur, misal suatu ketika kita melakukanpendakian seorang diri dan tidak mencapai puncak. Bisa saja kita bilang sampai dipuncak, toh tak ada saksi yang akan menyanggahnya, disinilah kita harus jujur, karena pengalaman yang terjadi mungkin berguna bagi teman – teman yang lain. Bila kita sudah mencapai tahap ini, puncakbukan lagi menjadi sasaran utama. Begitu pula dengan kebanggaan yang dulu sampai – sampai bisa menyesakkan dada karena berhasil menaklukkan sebuah puncak, perlahan akan hilang. Karena yang lebih esensi dalam tahap ini adalah bagaimana kita mendapatkan tantangan baru dan bagaimana memecahkannya.
Juga mengurangi nafsu merusak seperti corat – coret, memetik Edelweis dan membuang sampah sembarangan sudah lama mereka tinggalkan. Karena motto “Jangan ambil sesuatu kecuali photo dan jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak“ sudah melekat pada diri mereka. Tetapi semua ini adalah proses yang harus dilalui oleh semua orang untuk menjadi pecinta alam sejati.
Untuk menjadi seorang petualang yang baik kita harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup, peralatan dan perbekalan yang memadai, mental dan phisik yang baik serta daya juang yang tinggi. Tanpa itu jangan harap kita bisa selamat dalam melaksanakan aktivitas petualangan, sedangkan mereka yang telah cukup memiliki segala sesuatunya pun terkadang tidak luput dari resiko berat aktivitas outdoor sport ini.
Semua aktivitas yang dilakukan manusia mempunyai resiko, begitu pula dengan aktivitaspetualangan di alam bebas. Ibaratkan seorang pelaut yang harus meninggalkan keluarganya berbulan – bulan, itu adalah resiko dari profesi keahlian yang digelutinya.
Kaum awam seringkali mengidentifikasikan kegiatan outdoor sport sebagai aktivitas yang dekat dengan kematian, padahal para petualang sebetulnya adalah orang – orang yang menghargai kehidupan, hal ini terlihat bagaimana mereka menerapkan safety procedure dalam setiap aktivitasnya. Kalau bicara soal kematian, di atas tempat tidur pun apabila Tuhan menghendaki, kita semua bisa mati atau bisa kita lihat bagaimana banyaknya orang mati karena kecelakaan lalu lintas. Jadi tidak perlu takut melakukan aktivitas petualangan di alam bebas.
Filosofi Pendakian Gunung adalah gambaran nyata bagi para pecinta pendakian gunung tentang hal – hal dalam diri yang sering mengatasnamakan para petualang. Pada masa kini, mendaki gunung adalah kegiatan yang bisa dilakukan secara acak hanya untuk mengisi waktu luang ataupun hanya sekedar ingin disebut Pecinta Alam. Dan disinilah Filosofi Pendakian Gunungterbentuk.
Jika kau ingin tahu lebih jelas mengenai sifat asli orang – orang dekatmu atau sifat asli dirimu sendiri, ajaklah mendaki gunung. Di atas sana, kau akan menemukan bahwa kau tidak bisa menyembunyikan karakter aslimu. Kau akan menjadi dirimu sendiri, sepenuhnya.
Jika egois, maka di atas sana kau akan egois. Jika penakut, maka di atas sana kau pun akan banyak diam. Jika kau pengeluh, maka kau tidak akan berhenti mengeluh sepanjang perjalanan. Dari situlah kita akan semakin tahu kekurangan dan kelebihan diri masing – masing, dan kemudian kita bisa saling introspeksi diri.
Benar sekali, mendaki gunung tak jauh berbeda dengan kehidupan. Terkadang kita melewati tanjakan yang terjal, hingga kita hampir menyerah, terkadang juga kita menyusuri jalanan di tepi jurang, harus hati – hati melangkah karena jika tidak, kita bisa terpeleset. Ketika terpeleset mampukah kita melanjutkan perjalanan, atau memilih mundur dan turun untuk selanjutnya pulang?
Terkadang melewati turunan yang curam, terkadang hanya padang ilalang datar ratusan meter. Terkadang harus berhenti untuk melepas lelah setelah perjalanan panjang.
Seperti halnya hidup, ketika menempuh perjalanan kita banyak mengeluh karena lelah atau menikmati saja pemandangan sekitar. Itu adalah pilihan. Dengan jalur yang sama, beban yang sama, sikap pendaki satu dengan yang lain tentu akan berbeda. Beratnya beban di punggung adalah bekal kita. Tidak murah memang segala bekal kita namun sangat sepadan dengan apa yang akan kita nikmati selama mendaki gunung.
Sesekali kita membutuhkan orang lain untuk berpegangan ketika melewati titian. Terkadang kita harus mempercayakan nyawa kita kepada teman kita ketika kita perlu memanjat bagian gunung berupa tebing yang curam. Sesekali kita membutuhkan teman kita untuk memasang tenda. Sesekali kita membantu merawat teman yang sakit atau cidera dalam pendakian.
Di gunung kita hanyalah penumpang, numpang lewat, numpang tidur, numpang buang air. Sering terjadi hal – hal di luar akal sehat dan logika ketika kita tidak mengindahkan “tata krama” di gunung. Disadari atau tidak, percaya atau tidak, hukum sebab akibat, berlaku sebagaimana kehidupan sehari – hari. Bagaimana kita menempatkan diri di gunung, terhadap penduduk setempat, terhadap pepohonan, sungai, satwa, dan sebagainya merupakan gambaran bagaimana kita hidup sehari – hari. Bagaimana perilaku seseorang di gunung adalah perilaku sesungguhnya dia di kehidupan sehari – harinya.
Mendaki Gunung Adalah Tentang Kebebasan karena mendaki gunung biasanya identik dengan kegiatan para pecinta alam. Menembus badai, mencari jejak dengan satu tujuan, yakni puncak! Dan pada masa kini dan mungkin masa kedepan, banyak orang mendaki gunung dengan berbagai macam tujuan.
Jadi, mendaki gunung itu adalah tentang kebebasan.
Take nothing but picture, Leave nothing but footprint, Kill noting but time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar